Bullying anak Indonesia kini bukan sekadar isu pinggiran, melainkan telah bermetamorfosis menjadi krisis kemanusiaan yang mendesak di jantung sistem pendidikan nasional. Gelombang kekerasan yang menerpa satuan pendidikan dalam dua tahun terakhir, khususnya sepanjang 2023 hingga akhir 2024, melukiskan potret buram tentang keamanan fisik dan psikologis peserta didik. Berdasarkan sintesis data terbaru dari berbagai lembaga otoritatif seperti PISA, KPAI, hingga jaringan pemantau independen, Indonesia sedang menghadapi eskalasi kasus perundungan yang tidak hanya meningkat secara kuantitas, tetapi juga semakin brutal dalam kualitas kekerasannya. Fenomena ini menuntut perhatian serius, mengingat sekolah yang semestinya menjadi inkubator intelektual kini berubah menjadi arena pertarungan yang membahayakan nyawa.
Bullying Anak Indonesia dalam Perspektif Data Global dan Nasional
Memahami kedalaman krisis bullying anak Indonesia memerlukan bedah data yang komprehensif, melampaui sekadar angka di permukaan. Disparitas antara data survei prevalensi dengan laporan administratif seringkali menyembunyikan realitas “gunung es”, di mana penderitaan siswa yang tidak terlaporkan jauh lebih masif daripada kasus yang muncul di media massa.
Hegemoni Kekerasan dalam Laporan PISA dan Asesmen Nasional
Posisi Indonesia di kancah global terkait keamanan sekolah sangatlah mengkhawatirkan. Merujuk pada hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang menjadi landasan analisis kebijakan 2023-2024, tercatat 41,1% siswa di Indonesia mengaku pernah menjadi korban perundungan. Angka ini bukan sekadar statistik dingin, melainkan indikator kegagalan sistemik. Jika disandingkan dengan rata-rata negara OECD yang hanya berada di kisaran 20%, tingkat perundungan di Indonesia sudah melampaui dua kali lipat standar global. Fakta ini menempatkan Indonesia pada peringkat kelima tertinggi dari 78 negara yang disurvei, sejajar dengan negara-negara yang memiliki indeks keamanan rendah.
Lebih jauh lagi, data domestik mengonfirmasi kerentanan yang serupa. Rapor Pendidikan 2024 yang dirilis oleh Kemendikbudristek mencatat bahwa 36,31% peserta didik berisiko mengalami perundungan. Istilah “berisiko” di sini mengindikasikan iklim sekolah yang tidak kondusif, di mana interaksi sosial antar-siswa diwarnai oleh agresi verbal dan fisik yang dinormalisasi. Konsistensi antara data internasional (PISA) dan nasional (Asesmen Nasional) ini menegaskan bahwa satu dari tiga siswa di Indonesia berangkat ke sekolah dengan membawa rasa takut. Analisis multilevel modelingbahkan memprediksi probabilitas viktimisasi siswa mencapai 27,18%, yang berarti ancaman tersebut bersifat persisten dan mengintai setiap hari.
Implikasi dari tingginya angka ini sangat luas. Sekolah tidak lagi dipandang sebagai ruang aman, melainkan zona konflik. UNICEF melalui Global School Health Survey (GSHS) menambahkan perspektif bahwa sekitar 18 juta anak usia 13-15 tahun terpapar risiko kekerasan ini. Ketidakmampuan sistem pendidikan untuk menekan angka ini di bawah rata-rata global menunjukkan adanya celah besar dalam implementasi kebijakan perlindungan anak yang selama ini didengungkan.
Lonjakan Eksponensial Kasus Terlapor Sepanjang 2024
Jika data PISA memberikan gambaran prevalensi jangka panjang, maka data pemantauan independen tahun 2024 memberikan sinyal bahaya yang nyata dan mendesak. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan lonjakan kasus yang sangat drastis, mencapai 573 kasus kekerasan sepanjang tahun 2024. Angka ini merepresentasikan kenaikan lebih dari 100% dibandingkan tahun sebelumnya, menciptakan grafik pertumbuhan eksponensial yang mengerikan.
Secara statistik, ini berarti terjadi rata-rata lebih dari 1,5 insiden kekerasan setiap harinya di sekolah-sekolah Indonesia. Tren ini diperburuk oleh temuan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang mencatat anomali lonjakan kasus pada periode semester ganjil, khususnya bulan September 2024. Dalam dua bulan saja, terjadi eskalasi tajam yang tidak wajar, mengindikasikan bahwa masa-masa adaptasi tahun ajaran baru dan pertengahan semester adalah periode paling kritis bagi siswa.
Lonjakan ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari semakin beraninya pelaku kekerasan dan lemahnya pengawasan. Kasus-kasus yang tercatat oleh FSGI mayoritas merupakan kasus berat yang telah masuk ke ranah hukum atau menjadi viral. Hal ini menandakan bahwa mekanisme penyelesaian konflik di tingkat sekolah seringkali macet, sehingga kasus harus meledak keluar sebelum mendapatkan penanganan. Dominasi jenjang SMP sebagai lokasi kejadian perkara (50% dari total kasus) juga menyoroti kegagalan institusi dalam mendampingi masa transisi remaja awal, fase di mana kebutuhan akan pengakuan sosial seringkali disalahartikan melalui dominasi fisik terhadap teman sebaya.
Evolusi Tipologi Kekerasan dan Transformasi Digital
Wajah bullying anak Indonesia terus berevolusi seiring dengan perubahan zaman. Jika dahulu perundungan identik dengan pemalakan atau kekerasan fisik di halaman belakang sekolah, kini spektrum kekerasannya meluas hingga ke ruang digital dan mencakup tindakan yang berujung pada kematian.
Fatalitas dan Ragam Kekerasan Konvensional
Salah satu perkembangan paling meresahkan dalam periode 2023-2024 adalah munculnya tren fatalitas. Perundungan tidak lagi sebatas kenakalan remaja, tetapi telah bermutasi menjadi tindak kriminal murni yang merenggut nyawa. Kasus kematian siswa SD di Kabupaten Sukabumi dan santri di Blitar akibat penganiayaan oleh rekan sebaya menjadi bukti nyata bahwa batas toleransi kekerasan di kalangan anak telah terlampaui. Selain itu, insiden pembakaran santri dan kasus bunuh diri siswa di Jakarta Selatan akibat tekanan psikologis menambah daftar panjang tragedi pendidikan nasional.
Berdasarkan klasifikasi PISA, bentuk perundungan konvensional masih mendominasi. Pencurian atau perusakan barang milik korban (22%) dan penyebaran rumor jahat (20%) menjadi modus operandi utama. Namun, dampak psikologis dari pengucilan sosial (19%) seringkali lebih destruktif meski tidak meninggalkan luka fisik. Korban yang dikucilkan secara sistematis mengalami erosi harga diri yang parah, yang dalam jangka panjang memicu depresi berat.
Analisis gender juga mengungkapkan pola viktimisasi yang spesifik. Siswa laki-laki (24%) lebih rentan menjadi target sekaligus pelaku kekerasan fisik, sementara siswa perempuan (18%) lebih sering terjebak dalam kekerasan relasional dan seksual. Kerentanan ini diperparah oleh budaya patriarki yang terkadang masih mewajarkan agresivitas pada anak laki-laki sebagai bentuk maskulinitas, sebuah miskonsepsi yang melanggengkan siklus kekerasan di sekolah.
Penetrasi Cyberbullying di Era Digital
Transformasi digital yang tidak diimbangi dengan literasi etika telah membuka front baru dalam perang melawan perundungan. Dengan penetrasi internet yang menjangkau hampir 80% populasi, bullying anak Indonesia kini merambah ke ruang privat melalui layar ponsel. Generasi Z yang mendominasi demografi pengguna internet menjadi kelompok paling rentan terhadap cyberbullying.
Laporan UNICEF menyoroti bahwa 45% responden anak muda mengaku pernah mengalami perundungan siber. Platform pesan instan seperti WhatsApp dan media sosial berbasis visual seperti Instagram menjadi arena utama. Di WhatsApp, fitur grup sering disalahgunakan untuk mengucilkan target atau menyebarkan konten aib secara viral (doxing). Sementara di Instagram, body shaming dan pembuatan akun palsu (impersonation) menjadi senjata ampuh untuk membunuh karakter korban.
Lebih mengerikan lagi, ruang digital juga menjadi pintu masuk bagi eksploitasi seksual anak (Online Child Sexual Exploitation). Peningkatan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan sindikat yang memanfaatkan layanan keuangan digital untuk memperdaya anak menunjukkan bahwa predator seksual kini beroperasi tanpa batas geografis. Indeks Keadaban Digital (Digital Civility Index) Microsoft yang menempatkan Indonesia di peringkat bawah semakin menegaskan bahwa netizen Indonesia, termasuk kalangan pelajar, belum memiliki kedewasaan dalam berinteraksi di dunia maya, menjadikan internet sebagai hutan rimba yang berbahaya bagi anak-anak.
Akar Masalah Struktural dan Urgensi Reformasi Kebijakan
Tingginya prevalensi bullying anak Indonesia tidak terjadi dalam ruang hampa. Fenomena ini adalah hasil akumulasi dari lemahnya ekosistem pendukung di sekolah, pola asuh keluarga, dan ketidakefektifan implementasi regulasi di tingkat nasional.
Kesenjangan Persepsi dan Lemahnya Dukungan Guru
Guru sejatinya adalah garda terdepan dalam perlindungan siswa, namun data menunjukkan realitas yang kontradiktif. Indeks dukungan guru di Indonesia tergolong rendah menurut standar PISA. Lebih parah lagi, terdapat kesenjangan persepsi (perception gap) yang menganga antara guru dan siswa. Studi di lapangan menemukan bahwa meskipun mayoritas guru merasa telah menangani laporan dengan serius, hanya sebagian kecil siswa yang setuju dengan klaim tersebut.
Ketidakpercayaan ini melahirkan fenomena underreporting. Siswa korban perundungan memilih bungkam karena skeptis bahwa laporan mereka akan ditindaklanjuti, atau justru takut akan mengalami victim blaming (disalahkan). Kurangnya kompetensi guru dalam resolusi konflik dan konseling membuat penanganan kasus seringkali bersifat punitif (menghukum) daripada restoratif, yang justru tidak menyelesaikan akar masalah permusuhan antar-siswa.
Faktor keluarga juga memainkan peran sentral. Dominasi kasus pengasuhan dalam laporan KPAI mengindikasikan bahwa banyak pelaku perundungan sebenarnya adalah korban dari disfungsi keluarga. Anak-anak yang tidak mendapatkan validasi emosional di rumah cenderung mencari pelampiasan kekuasaan di sekolah dengan menindas teman yang lebih lemah. Tanpa sinergi antara pola asuh di rumah dan disiplin positif di sekolah, mata rantai kekerasan ini sulit diputus.
Evaluasi Kritis Regulasi dan Politik Anggaran
Pemerintah melalui Kemendikbudristek telah menerbitkan Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) sebagai payung hukum. Regulasi ini memandatkan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak TPPK yang terbentuk hanya sebatas formalitas administratif.
Banyak anggota satgas di sekolah yang kebingungan mengenai prosedur operasional standar (SOP) ketika menghadapi kasus nyata. Mereka tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan investigasi atau pendampingan psikologis. Masalah ini diperparah oleh minimnya komitmen anggaran. Alokasi dana khusus untuk perlindungan anak dari kekerasan masih sangat minim, kurang dari 0,1% dari total anggaran, yang menghambat pelaksanaan pelatihan masif dan penyediaan infrastruktur pengawasan yang efektif.
Reformasi total diperlukan, bukan sekadar aturan di atas kertas. Diperlukan integrasi kurikulum kesehatan mental, pelatihan intensif bagi tenaga pengajar, serta penguatan literasi digital yang substansial. Jika tidak segera dibenahi, dampak jangka panjangnya akan sangat merusak; mulai dari penurunan prestasi akademik nasional, kerusakan kesehatan mental generasi muda, hingga hilangnya bonus demografi akibat produktivitas SDM yang rendah di masa depan.
Indonesia kini berdiri di persimpangan jalan. Data-data periode 2023-2024 telah membunyikan alarm tanda bahaya yang nyaring. Tanpa langkah konkret dan kolaboratif dari pemerintah, sekolah, dan orang tua, keselamatan jutaan anak Indonesia akan terus menjadi taruhan. Untuk pemahaman yang lebih komprehensif mengenai dinamika sosial ini, Insimen hadir sebagai referensi utama dalam membedah kompleksitas isu pendidikan dan perlindungan anak.









