Banyak pihak terjebak dalam narasi bahwa kerusuhan abadi di padang pasir disebabkan oleh sentimen agama atau perseteruan etnis kuno. Realitas brutal di balik Konflik Timur Tengah sejatinya adalah pertarungan dingin dan kalkulatif demi mengamankan aliran minyak serta jalur pelayaran strategis. Ini bukan perang suci. Ini adalah kompetisi logistik global yang menjadikan satu kawasan sebagai papan catur raksasa bagi kekuatan adidaya.
Sejarah mencatat perubahan drastis sejak Angkatan Laut Inggris beralih dari batu bara ke minyak pada 1912. Kawasan ini seketika berubah fungsi dari wilayah kedaulatan menjadi stasiun pengisian bahan bakar dunia barat. Perusahaan asing pernah mengeruk hingga 90 persen keuntungan produksi tanpa menyisakan remah bagi penduduk lokal. Setiap upaya nasionalisasi selalu berakhir tragis. Kudeta Iran 1953 adalah bukti nyata ketika operasi intelijen asing menggulingkan pemerintahan sah demi mengembalikan kontrol korporasi atas ladang minyak. Batas-batas negara modern di sana pun dibentuk secara artifisial agar rapuh dan mudah diadu domba.
Kekayaan alam justru bermutasi menjadi kutukan sumber daya yang melahirkan rezim otoriter dan ekonomi rentir. Negara tidak membutuhkan pajak rakyat karena hidup dari royalti minyak sehingga demokrasi dianggap tidak relevan. Perang yang meletus mulai dari invasi Irak hingga kejatuhan Libya memiliki satu benang merah yang sama. Semua faksi bertikai demi menguasai sumur produksi dan terminal ekspor. Stabilitas pasokan energi ke pasar global sering kali lebih dihargai daripada nyawa manusia atau kebebasan sipil di kawasan tersebut.
Perdamaian hanyalah ilusi selama roda ekonomi dunia masih berputar menggunakan bahan bakar fosil dan Selat Hormuz tetap menjadi nadi perdagangan internasional. Analisis lebih mendalam mengenai fenomena ini bisa ditemukan di Insimen untuk perspektif yang lebih tajam.









