Skip to main content

Ekonomi Indonesia berada dalam sorotan tajam pada 2025. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tercatat di atas 5 persen pada kuartal kedua, melampaui ekspektasi banyak analis. Di sisi lain, pasar saham sempat terguncang akibat gejolak politik, meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) perlahan menunjukkan tanda stabilitas. Situasi ini menggambarkan dinamika antara optimisme pertumbuhan dengan tantangan struktural dan sosial yang dihadapi negara.

Pertumbuhan Ekonomi Melampaui Target

Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa PDB Indonesia tumbuh sekitar 5,12 persen pada kuartal kedua 2025. Angka ini lebih tinggi dibanding perkiraan 4,8 persen. Organisasi internasional seperti OECD dan IFG Progress juga menempatkan proyeksi pertumbuhan Indonesia di kisaran 4,7 hingga 5,0 persen sepanjang tahun.

Pertumbuhan tersebut ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan peningkatan investasi asing. Realisasi investasi pada semester pertama 2025 mencapai Rp 942 triliun atau setara 57,8 miliar dolar AS. Jumlah ini naik 13,6 persen dibanding tahun sebelumnya. Investasi yang masuk juga menyerap tenaga kerja sekitar 1,2 juta orang.

Namun, di balik catatan positif ini, sektor manufaktur justru menghadapi tekanan. Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB turun signifikan dari 32 persen pada 2002 menjadi hanya 19 persen pada 2024. Bahkan, penutupan Sritex menyebabkan lebih dari 42 ribu pekerja kehilangan pekerjaan pada paruh pertama tahun ini.

Neraca Perdagangan dan Inflasi

Surplus perdagangan menjadi salah satu penopang ekonomi. Pada Juli 2025, neraca perdagangan mencatatkan surplus sekitar 4,17 miliar dolar AS, naik tipis dari bulan sebelumnya. Kinerja ekspor terutama didorong oleh komoditas seperti batubara, nikel, dan produk pertanian.

Meski demikian, inflasi tetap menjadi perhatian. OECD memprediksi laju inflasi Indonesia akan naik ke 2,3 persen pada 2025 dan 3,0 persen pada 2026. Tekanan inflasi datang dari pelemahan nilai tukar yang membuat harga impor meningkat. Pemerintah menegaskan komitmen menjaga stabilitas harga melalui koordinasi fiskal dan moneter.

Stabilitas Politik dan Dampaknya

Situasi politik domestik menjadi faktor yang memengaruhi kepercayaan pasar. Gelombang protes nasional pecah setelah muncul kebijakan tunjangan rumah senilai Rp 50 juta per bulan bagi anggota legislatif. Aksi ini memicu ketidakpuasan luas dan berujung pada kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa serta kerusakan aset publik.

Pemerintah merespons dengan membatalkan kebijakan tersebut, membatasi perjalanan luar negeri pejabat, dan melakukan dialog publik. Meski langkah itu meredakan ketegangan, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga politik masih perlu dipulihkan. Ketidakstabilan politik terbukti langsung berdampak pada pasar saham.

IHSG Terguncang Lalu Stabil

Indeks Harga Saham Gabungan sempat anjlok hingga 3,34 persen pada 1 September 2025 saat protes nasional memuncak. Penurunan ini menjadi yang terparah dalam hampir lima bulan terakhir. Dalam beberapa hari, kapitalisasi pasar kehilangan miliaran rupiah akibat aksi jual besar-besaran.

Namun, menjelang pekan pertama September berakhir, IHSG mulai menunjukkan tanda stabil. Pada 7 September 2025, IHSG berada di level 7.867, turun tipis 0,23 persen atau 18,5 poin dari hari sebelumnya. Rentang perdagangan harian berada di 7.855 hingga 7.899. Dalam catatan tahunan, IHSG sempat menyentuh level tertinggi 8.022 dan terendah 5.882.

Volume perdagangan meningkat hingga 40 persen pada periode krisis politik, mencerminkan tingginya volatilitas pasar. Meski demikian, para analis menilai investor asing masih melihat prospek jangka menengah Indonesia cukup menarik karena fundamental ekonomi tetap terjaga.

Kebijakan Burden Sharing

Bank Indonesia bersama pemerintah menyepakati skema burden sharing untuk mendukung pembiayaan nasional. Dalam skema ini, Bank Indonesia meningkatkan bunga simpanan pemerintah di bank sentral. Beban bunga kemudian dibagi bersama antara pemerintah dan BI.

Langkah ini ditujukan untuk memperkuat stabilitas fiskal, mendukung sektor perumahan, koperasi, dan usaha kecil menengah. Beberapa ekonom menilai kebijakan ini mampu meredam tekanan inflasi sekaligus menjaga likuiditas pasar.

Tantangan Struktural

Meski ada kabar baik dari sisi pertumbuhan dan perdagangan, tantangan struktural tidak bisa diabaikan. Pergeseran fokus pemerintah pada sektor ekstraktif seperti nikel dan batubara dinilai tidak cukup menciptakan lapangan kerja inklusif. Di sisi lain, industri padat karya seperti tekstil justru terpuruk dan menyebabkan gelombang PHK.

Selain itu, produktivitas masih menjadi isu utama. Dengan kontribusi manufaktur yang menurun, Indonesia berisiko terjebak dalam pertumbuhan berbasis komoditas yang rentan terhadap fluktuasi global. Para pakar menekankan pentingnya reformasi struktural dan peningkatan daya saing industri.

Prospek ke Depan

Dalam jangka pendek, pasar saham Indonesia masih akan dipengaruhi oleh dinamika politik dalam negeri. Stabilitas pemerintahan menjadi faktor penting bagi kepercayaan investor. Namun, selama fundamental ekonomi tetap kuat dengan pertumbuhan di atas 5 persen, pasar diperkirakan mampu bertahan.

Pemerintah juga perlu menjaga kredibilitas fiskal dan memperkuat kebijakan industri agar pertumbuhan lebih berkelanjutan. Peningkatan surplus perdagangan dan arus investasi yang positif bisa menjadi modal kuat, asalkan disertai kebijakan yang inklusif.

Ekonomi Indonesia saat ini berada di persimpangan. Pertumbuhan positif dan investasi yang meningkat menjadi sinyal harapan. Namun, tekanan di sektor manufaktur, gejolak politik, dan inflasi yang berpotensi naik menjadi pengingat bahwa stabilitas harus dijaga.

Bagi pembaca yang ingin memahami lebih lanjut dampak politik terhadap pasar saham global, silakan membaca artikel terkait di Insimen yang membahas pasar keuangan Asia menghadapi ketidakpastian geopolitik.


Eksplorasi konten lain dari Insimen

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Leave a Reply

Eksplorasi konten lain dari Insimen

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca