Kedaulatan digital kini menjadi isu strategis utama di Asia Tenggara. Dengan populasi hampir 700 juta jiwa dan pertumbuhan ekonomi digital dua digit per tahun, kawasan ini muncul sebagai kekuatan baru dalam tata kelola teknologi global. Namun, di balik ledakan inovasi, muncul pertanyaan besar: sejauh mana Asia Tenggara mampu menjaga kedaulatan digital yakni kendali atas data, infrastruktur, dan teknologi di tengah dominasi raksasa global seperti Amerika Serikat dan Tiongkok?
Percepatan digitalisasi membawa paradoks. Di satu sisi, adopsi kecerdasan buatan (AI), cloud, dan e-commerce memperluas akses ekonomi dan inovasi. Di sisi lain, ketergantungan terhadap infrastruktur asing dan standar global menimbulkan risiko serius terhadap keamanan data dan kebebasan inovasi nasional. Negara-negara ASEAN kini berpacu menyusun regulasi yang menyeimbangkan proteksi dengan pertumbuhan.
Regulasi Data dan Arsitektur Kedaulatan Digital
Asia Tenggara telah melangkah cepat dengan menyusun ASEAN Digital Economy Framework Agreement (DEFA)yang ditargetkan berlaku pada 2026. DEFA akan menjadi landasan integrasi ekonomi digital, pengamanan data pribadi, dan kerja sama lintas batas di bidang AI dan e-commerce. Namun, perbedaan kesiapan teknologi antarnegara masih menjadi hambatan utama.
Negara seperti Singapura telah lebih dulu mapan dengan Personal Data Protection Act (PDPA), sementara Indonesiabaru menerapkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) No. 27/2022. Vietnam, di sisi lain, mengambil jalur proteksionis dengan aturan lokalisasi data yang ketat melalui Law on Cybersecurity dan Decree 53.
Keragaman ini memperlihatkan dilema antara perlindungan kedaulatan digital dan kebutuhan interoperabilitas.
Penerapan lokalisasi data di Indonesia, misalnya, membantu menjaga keamanan nasional tetapi berpotensi menghambat arus investasi asing. Singapura memilih pendekatan sebaliknya: mengizinkan arus data lintas batas dengan standar kepatuhan tinggi. Para analis menilai keseimbangan dua model ini akan menentukan arah masa depan DEFA dan harmonisasi kawasan.
Kebijakan AI dan Tata Kelola Etis di Asia Tenggara
Kecerdasan buatan kini menjadi tulang punggung ekonomi digital ASEAN. Namun, tanpa tata kelola yang etis, risiko bias algoritmik dan penyalahgunaan data meningkat. Pada 2024, ASEAN menerbitkan ASEAN Guide for AI Governance and Ethics—kerangka prinsip yang mendorong transparansi, keamanan, dan keadilan dalam pengembangan AI.
Indonesia meluncurkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020–2045 yang menargetkan lima sektor utama: layanan publik, kesehatan, pendidikan, reformasi birokrasi, dan keamanan nasional. Pemerintah juga sedang menyiapkan Dana AI Berkedaulat untuk memperkuat riset domestik. Namun, implementasinya masih terhambat oleh keterbatasan SDM dan koordinasi lintas lembaga.
Singapura tampil sebagai pemimpin kawasan dengan National AI Strategy 2.0 dan sistem audit etika AI lewat AI Verify Project. Ekosistem inovasinya mengintegrasikan startup, regulator, dan korporasi global dalam satu sistem digital yang terkoordinasi.
Vietnam, sementara itu, menargetkan kontribusi AI sebesar 12% terhadap PDB nasional pada 2030 dengan dukungan pembangunan data center domestik dan pelatihan talenta AI lokal.
Kawasan ASEAN pun kini menjadi arena kompetisi terbuka antara dua model besar: pendekatan sentralistik seperti Tiongkok, dan pendekatan pasar terbuka seperti Amerika Serikat. Asia Tenggara berupaya menciptakan jalan tengah—menjaga kedaulatan tanpa menutup pintu kolaborasi global.
E-Commerce dan Transformasi Ekonomi Regional
Lonjakan transaksi digital pascapandemi COVID-19 mempercepat integrasi e-commerce di kawasan ini. ASEAN Agreement on Electronic Commerce (AAEC) dan DEFA menjadi tulang punggung perdagangan digital lintas negara, membuka peluang baru bagi jutaan UMKM untuk menembus pasar regional.
Indonesia menjadi kekuatan utama dengan kontribusi lebih dari 50% transaksi e-commerce ASEAN (US$82 miliar pada 2023). Pemerintah fokus pada keamanan transaksi, pajak digital, dan perlindungan konsumen. Namun, tantangan terbesar masih pada literasi digital dan infrastruktur di luar Jawa.
Singapura menonjol dengan kebijakan bisnis lintas batas yang efisien dan sistem pembayaran digital terintegrasi. Sementara Vietnam memperketat regulasi e-commerce dengan kewajiban verifikasi identitas pelaku usaha dan perlindungan hak cipta digital.
Perbedaan kebijakan ini menunjukkan bahwa ASEAN sedang mencari titik temu antara keterbukaan pasar dan proteksi kedaulatan data.
Peran Big Tech dan Persaingan Global
Raksasa teknologi seperti Google, Microsoft, Amazon, Huawei, dan Tencent memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara dengan membangun pusat data dan laboratorium AI. Microsoft, misalnya, berinvestasi Rp27,6 triliun di Indonesia untuk memperkuat cloud dan pelatihan talenta AI.
Langkah-langkah ini mempercepat transformasi digital, tetapi sekaligus menimbulkan kekhawatiran akan ketergantungan infrastruktur pada pihak asing.
Pemerintah di kawasan berupaya menyeimbangkan kemitraan ini dengan regulasi antimonopoli dan skema public-private partnership (PPP) yang adil. Tantangan terbesarnya adalah menghindari “regulatory capture”, di mana kebijakan publik terlalu dipengaruhi oleh kepentingan korporasi global.
Keamanan Data dan Etika AI
Meningkatnya ancaman siber mendorong negara-negara ASEAN memperkuat sistem keamanan data dan audit reguler. Standar internasional seperti ISO/IEC 42001 mulai diadopsi untuk meningkatkan kepercayaan investor dan konsumen.
Selain itu, konsep ethical AI kini menjadi norma baru, menuntut setiap sistem cerdas untuk transparan, adil, dan berorientasi manusia.
Namun, biaya kepatuhan regulasi (compliance cost) masih menjadi beban bagi startup dan UMKM. Karena itu, negara seperti Indonesia dan Malaysia mulai mengembangkan regulatory sandbox agar pelaku usaha dapat berinovasi tanpa risiko pelanggaran hukum di tahap awal.
DEFA: Langkah Strategis Menuju 2030
Jika terealisasi pada 2026, DEFA akan menjadi peta jalan utama ASEAN menuju ekonomi digital senilai US$2 triliun pada 2030. Perjanjian ini mencakup perlindungan data, keamanan siber, integrasi AI, serta penyelesaian sengketa digital lintas negara.
DEFA juga diharapkan mengurangi fragmentasi regulasi yang selama ini memperlambat interoperabilitas sistem antarnegara.
Para pengamat menilai, keberhasilan DEFA akan menjadikan Asia Tenggara bukan sekadar pasar, tetapi pusat gravitasi baru bagi regulasi dan inovasi digital dunia.
Belajar dari Dua Kekuatan Dunia: Tiongkok dan Amerika Serikat
Tiongkok mengandalkan model kedaulatan digital berbasis “hard law”, dengan kontrol penuh terhadap data dan AI di bawah tiga undang-undang utama: Cybersecurity Law, Data Security Law, dan PIPL. Pendekatan ini memperkuat industri domestik namun mengekang keterbukaan inovasi.
Sebaliknya, Amerika Serikat menerapkan sistem berbasis pasar dengan regulasi sektoral seperti CCPA dan HIPAA. Meski mendorong inovasi cepat, pendekatan ini menghasilkan perlindungan data yang tidak seragam dan sering kali memicu kekhawatiran global atas penggunaan data lintas negara.
Asia Tenggara berusaha mengambil jalan tengah mengadopsi aspek proteksi dari Tiongkok tanpa mengorbankan keterbukaan ekonomi seperti AS.
Masa depan kedaulatan digital di Asia Tenggara akan ditentukan oleh kemampuan kawasan ini untuk menyatukan visi: membangun ekonomi digital yang aman, inovatif, dan berdaya saing tinggi.
Jika DEFA berhasil diimplementasikan, ASEAN berpotensi menjadi laboratorium tata kelola digital dunia menunjukkan bahwa kedaulatan dan inovasi bisa berjalan beriringan.
Namun, jika proteksionisme berlebihan mendominasi, kawasan ini berisiko terjebak dalam fragmentasi digital.
Agar tidak sekadar menjadi pasar bagi inovasi asing, Asia Tenggara harus berani berinvestasi pada talenta, memperkuat regulasi data, dan membangun infrastruktur digital yang berdaulat.
Untuk analisis lebih dalam mengenai ekonomi digital global dan kebijakan AI, pembaca dapat melanjutkan membaca artikel terkait di Insimen dan Olam News.
Eksplorasi konten lain dari Insimen
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.