Skip to main content

Eritrea dikenal sebagai salah satu negara paling tertutup di dunia. Akses internet di sana sangat terbatas, bahkan hampir tidak tersedia di rumah-rumah penduduk. Namun di balik keterbatasan digital itu, kehidupan masyarakatnya tetap berjalan dengan ketenangan dan kehangatan yang khas. Kota Asmara, ibu kota Eritrea, menjadi potret menarik tentang bagaimana sebuah kota dapat mempertahankan identitasnya di tengah arus globalisasi.

Asmara, “Roma Kecil” di Jantung Afrika

Asmara sering dijuluki “Roma Kecil” karena peninggalan arsitektur bergaya Italia yang masih kokoh berdiri hingga kini. Di sepanjang jalan utama, deretan bangunan klasik seperti pom bensin Fiat Tagliero, Cinema Roma, Cinema Impero, dan Teatro Asmara menjadi ikon kota yang tak lekang waktu.

Warga setempat tetap menjaga gaya hidup yang berakar dari masa kolonial, mulai dari budaya minum kopi hingga kebiasaan menikmati pasta dan gelato di sore hari. Kehidupan terasa tenang, nyaris tanpa gawai, dengan interaksi sosial yang lebih alami dan penuh sapaan hangat.

Budaya Kopi dan Interaksi Tanpa Gawai

Di Asmara, kopi bukan sekadar minuman, melainkan jembatan sosial. Masyarakat biasa duduk berjam-jam di kafe sambil berbincang santai, tanpa gangguan ponsel atau media sosial. Ketiadaan internet menjadikan hubungan antarmanusia terasa lebih tulus dan hidup.

Kebersamaan juga terlihat dari kebiasaan harian seperti membawa sampah ke truk secara bergiliran setiap pagi. Tradisi sederhana ini memperlihatkan nilai disiplin dan rasa tanggung jawab sosial yang tinggi di kalangan warga.

Sistem Tunai dan Akses Terbatas

Perekonomian di Eritrea masih berjalan dengan sistem tunai. Tidak ada ATM, tidak ada pembayaran digital, dan kartu kredit belum diterima. Untuk bertransaksi, semua dilakukan secara langsung. Akses internet hanya tersedia di beberapa warnet umum dan memerlukan biaya per jam. Situs-situs media sosial seperti WhatsApp atau Facebook diblokir, sehingga komunikasi jarak jauh masih banyak dilakukan melalui telepon atau surat.

Sejarah Panjang dan Identitas Nasional yang Kuat

Eritrea memiliki sejarah panjang yang penuh gejolak. Negara ini pernah menjadi koloni Italia, kemudian dikuasai Inggris, sebelum akhirnya disatukan dengan Ethiopia. Setelah perjuangan yang panjang, kemerdekaan diraih pada tahun 1991.

Jejak Kolonial dan Peninggalan Perang

Sisa-sisa sejarah masih terlihat jelas di berbagai penjuru negeri. Kuburan tank, museum perang, dan monumen perjuangan menjadi pengingat betapa kerasnya perjalanan bangsa ini menuju kemandirian. Di Asmara, banyak warga tua yang masih mengingat masa peperangan dan menceritakan kisah ketabahan rakyat menghadapi tekanan politik dan ekonomi.

Wajib Militer dan Gelombang Migrasi

Salah satu tantangan besar yang dihadapi Eritrea hingga kini adalah kebijakan wajib militer tanpa batas waktu. Banyak warga muda memilih meninggalkan tanah air demi mencari kebebasan dan kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Diperkirakan lebih dari satu juta orang Eritrea kini menetap di berbagai negara di Eropa dan Timur Tengah.

Meski demikian, bagi yang tetap tinggal, semangat nasionalisme masih terasa kuat. Mereka menjaga budaya dan nilai tradisional dengan bangga, menjadikan Eritrea salah satu negara yang paling autentik di Afrika Timur.

Mitsiwa, Pelabuhan Tua dengan Nilai Sejarah Tinggi

Di tepi Laut Merah, Kota Mitsiwa berdiri sebagai pelabuhan bersejarah yang menjadi pintu masuk perdagangan sejak abad ke-7. Kawasan ini diyakini sebagai lokasi berdirinya masjid pertama di Afrika yang dibangun oleh para Sahabat Nabi ketika berhijrah ke Abyssinia.

Kota Strategis di Persimpangan Sejarah

Letaknya yang strategis menjadikan Mitsiwa kerap menjadi rebutan kekuatan asing. Mesir, Kekaisaran Ottoman, Italia, hingga Ethiopia pernah menempati wilayah ini karena nilai penting pelabuhannya. Bangunan tua yang sebagian besar telah rusak masih berdiri sebagai saksi dari masa keemasan dan konflik panjang.

Sepi Wisatawan, Namun Kaya Nilai Sejarah

Kebijakan visa yang ketat serta sifat negara yang tertutup membuat Mitsiwa jarang dikunjungi wisatawan. Namun bagi yang berhasil masuk, kota ini menyajikan pengalaman langka: berjalan di antara reruntuhan sejarah yang sepi, mendengarkan desiran angin Laut Merah, dan merasakan suasana masa lalu yang nyaris tak tersentuh modernisasi.

Eritrea dan Daya Tarik Dunia yang Melambat

Eritrea menawarkan kontras tajam dengan dunia modern yang serba cepat. Ketiadaan internet dan dominasi interaksi langsung menjadikan negara ini cermin bagi peradaban yang telah lama kehilangan ketenangan.

Kehidupan yang Mengalir Tanpa Teknologi

Di banyak negara, hidup tanpa internet terasa mustahil. Namun bagi warga Eritrea, kehidupan tanpa gawai justru menjadi bagian dari keseharian. Mereka bekerja, berkomunikasi, dan berinteraksi tanpa ketergantungan pada layar. Waktu berjalan lebih lambat, namun lebih nyata.

Ketertarikan yang Berasal dari Kesederhanaan

Asmara dan Mitsiwa menampilkan wajah Afrika Timur yang jarang dilihat dunia luar. Arsitektur kolonial yang masih terawat, budaya kopi yang hangat, dan kehidupan sosial yang ramah menjadikan Eritrea salah satu negara paling unik di benua itu.

Eritrea mengingatkan dunia bahwa kemajuan tidak selalu berarti keterhubungan digital. Ada nilai-nilai kemanusiaan yang justru tumbuh di tengah keterbatasan. Dengan pesona arsitektur klasik dan budaya sosial yang autentik, negara ini menjadi potret menarik tentang bagaimana tradisi dan ketenangan bisa bertahan di era serba cepat. Untuk ulasan budaya dan geopolitik dunia lainnya, pembaca dapat menemukannya di Insimen.


Eksplorasi konten lain dari Insimen

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Leave a Reply

Eksplorasi konten lain dari Insimen

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca