Manila – Riak di panggung ekonomi global semakin terasa setelah kebijakan tarif AS secara langsung menekan laju pertumbuhan salah satu raksasa Asia, India. Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan terbarunya, Asian Development Outlook (ADO) Edisi September 2025, secara resmi memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi India menjadi 6,5% untuk tahun 2025 dan 2026. Angka ini lebih rendah dari perkiraan sebelumnya pada April lalu, yang mematok pertumbuhan di level 6,7% dan 6,8%.
Langkah revisi ini menyoroti betapa rentannya perekonomian negara berkembang terhadap gejolak perdagangan yang dipicu oleh proteksionisme. ADB menyebutkan bahwa tekanan eksternal, terutama dari tarif tinggi yang diberlakukan Washington, menjadi faktor utama yang membebani prospek ekonomi New Delhi. Sementara itu, ketidakpastian yang membayangi perdagangan global juga turut memperlemah sentimen investasi dan permintaan eksternal, yang selama ini menjadi salah satu motor penggerak utama ekonomi India.
Di Balik Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi India oleh ADB
Bank Pembangunan Asia (ADB) secara gamblang menjelaskan bahwa lingkungan perdagangan global yang dibentuk oleh tarif dan perjanjian dagang baru telah menciptakan tantangan signifikan. Meskipun fundamental ekonomi domestik India dianggap masih kuat, faktor eksternal terbukti memberikan tekanan yang lebih besar dari perkiraan awal. Perlambatan ini tidak hanya mengancam target ambisius India untuk menjadi kekuatan ekonomi utama, tetapi juga mengirimkan sinyal waspada ke seluruh kawasan Asia Pasifik.
Revisi turun ini mencerminkan dinamika yang kompleks. Di satu sisi, investasi publik yang kuat dan pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral India diharapkan dapat menopang aktivitas ekonomi. Namun, di sisi lain, dampak negatif dari kebijakan tarif AS dinilai lebih dominan, menghambat laju ekspor dan menciptakan ketidakpastian bagi para pelaku industri yang bergantung pada pasar Amerika.
Faktor Eksternal Sebagai Pemicu Utama Perlambatan
Laporan ADO September 2025 menggarisbawahi bahwa kebijakan tarif AS yang diberlakukan sejak Agustus menjadi katalis utama perlambatan. Tarif tambahan yang dikenakan pada berbagai produk ekspor India—mulai dari tekstil, perhiasan, hingga komponen otomotif—secara langsung mengurangi daya saing barang-barang tersebut di pasar Amerika. Hal ini mengakibatkan penurunan volume ekspor dan menekan pendapatan para produsen di India.
Selain itu, ADB juga menyoroti melemahnya permintaan global secara umum. Ketegangan perdagangan yang tidak hanya terjadi antara AS dan India, tetapi juga melibatkan Tiongkok dan mitra dagang lainnya, telah menciptakan efek domino. Rantai pasok global terganggu, biaya produksi meningkat, dan sentimen bisnis di seluruh dunia cenderung menurun. Akibatnya, permintaan terhadap barang-barang dari negara berkembang seperti India pun ikut terkontraksi.
Kondisi ini diperparah oleh volatilitas di pasar keuangan. Ketidakpastian kebijakan sering kali memicu arus modal keluar dari emerging markets menuju aset yang dianggap lebih aman (safe haven). Bagi India, hal ini berisiko menekan nilai tukar Rupee dan meningkatkan biaya pinjaman, yang pada akhirnya dapat menghambat investasi swasta dan konsumsi domestik.
Tantangan dari Sektor Domestik India
Meskipun tekanan eksternal menjadi sorotan utama, ADB tidak menutup mata terhadap tantangan internal yang juga dihadapi India. Perlambatan di sektor konsumsi swasta, yang menyumbang lebih dari separuh PDB negara itu, menjadi salah satu kekhawatiran. Inflasi yang terkendali seharusnya mendorong daya beli, namun kepercayaan konsumen yang menurun akibat ketidakpastian ekonomi global tampaknya menahan laju belanja masyarakat.
Sementara itu, sektor investasi swasta juga menunjukkan tanda-tanda kelesuan. Para investor cenderung mengambil sikap wait and see di tengah ketegangan perdagangan yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Tanpa adanya investasi baru yang signifikan, kapasitas produksi dan penciptaan lapangan kerja menjadi terbatas, yang pada gilirannya dapat memperlambat momentum pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Pemerintah India, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, telah merespons dengan berbagai stimulus fiskal dan reformasi struktural. Namun, efektivitas langkah-langkah ini dalam jangka pendek masih diuji oleh hantaman dari faktor-faktor eksternal yang berada di luar kendali New Delhi. Kombinasi antara tekanan global dan tantangan domestik inilah yang menjadi dasar kalkulasi ADB dalam merevisi turun proyeksi pertumbuhan India.
Eskalasi Perang Dagang dan Dampaknya pada Sektor Kunci
Hubungan perdagangan antara Amerika Serikat dan India telah memasuki fase yang penuh gejolak selama beberapa tahun terakhir. Washington berulang kali menyuarakan keprihatinannya atas defisit perdagangan dengan New Delhi dan menuduh India menerapkan praktik perdagangan yang tidak adil. Puncak dari ketegangan ini adalah keputusan AS untuk mencabut status Generalized System of Preferences (GSP) bagi India, yang sebelumnya memungkinkan ribuan produk India masuk ke pasar AS tanpa bea masuk.
Langkah tersebut dibalas oleh India dengan menaikkan tarif impor terhadap 28 produk asal AS, termasuk almond, apel, dan beberapa produk agrikultur lainnya. Aksi saling balas ini menciptakan spiral negatif yang merugikan kedua belah pihak. Namun, dengan skala ekonomi yang jauh lebih besar, kebijakan tarif AS terbukti memberikan dampak yang lebih merusak bagi perekonomian India yang sangat bergantung pada ekspor.
Analisis Dampak Kebijakan Tarif AS pada Industri India
Sektor-sektor padat karya di India menjadi korban utama dari eskalasi perang dagang ini. Industri tekstil dan garmen, yang mempekerjakan jutaan orang, menghadapi tantangan berat karena produk mereka kini menjadi lebih mahal di pasar AS. Akibatnya, pesanan dari para pembeli Amerika menurun drastis, dan banyak produsen terpaksa mengurangi skala produksi mereka. Kondisi serupa juga dialami oleh industri perhiasan dan batu mulia, yang merupakan salah satu penyumbang ekspor terbesar bagi India.
Selain itu, sektor manufaktur lain seperti otomotif dan komponennya juga merasakan dampaknya. Gangguan pada rantai pasok global membuat biaya impor bahan baku meningkat, sementara tarif ekspor menekan margin keuntungan. Menurut laporan dari berbagai asosiasi industri di India, ribuan usaha kecil dan menengah (UKM) yang menjadi bagian dari rantai pasok global terancam gulung tikar jika ketegangan ini terus berlanjut.
Pemerintah India berupaya meredam dampak ini dengan mencari pasar ekspor alternatif dan mendorong konsumsi domestik melalui kampanye “Make in India”. Namun, menggantikan pasar sebesar Amerika Serikat bukanlah tugas yang mudah dan membutuhkan waktu..
Respons India dan Arah Kebijakan Selanjutnya
Menghadapi tekanan ini, pemerintah India berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada desakan domestik untuk mengambil tindakan balasan yang lebih keras terhadap AS. Namun, di sisi lain, New Delhi menyadari bahwa konfrontasi terbuka hanya akan memperburuk situasi. Sejauh ini, India lebih memilih jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi yang dapat diterima kedua belah pihak.
Beberapa putaran perundingan dagang telah dilakukan, meskipun belum membuahkan hasil yang signifikan. India menawarkan sejumlah konsesi, termasuk membuka pasarnya lebih luas untuk produk susu dan peralatan medis dari AS. Akan tetapi, Washington menuntut komitmen yang lebih besar, terutama terkait isu hak kekayaan intelektual dan akses pasar yang lebih bebas.
Ke depan, India diperkirakan akan terus memperkuat aliansi dagangnya dengan blok ekonomi lain, seperti Uni Eropa dan negara-negara ASEAN, untuk mengurangi ketergantungannya pada pasar AS. Selain itu, fokus pada penguatan ekonomi domestik akan menjadi prioritas utama. Menurut analisis dari sumber eksternal terpercaya seperti The World Bank, diversifikasi ekonomi dan peningkatan daya saing domestik adalah kunci bagi negara berkembang untuk bertahan di tengah ketidakpastian global.
Konteks Global: Perlambatan Ekonomi yang Merata
Dampak dari kebijakan tarif AS tidak hanya dirasakan oleh India. Laporan ADB juga mencatat adanya perlambatan pertumbuhan di seluruh kawasan Asia Pasifik, yang diproyeksikan hanya akan tumbuh 4,8% pada tahun 2025, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,9%. Ini menunjukkan bahwa proteksionisme dan ketidakpastian perdagangan telah menjadi ancaman nyata bagi stabilitas ekonomi global.
Negara-negara Asia Tenggara, yang ekonominya sangat terintegrasi dengan rantai pasok global, termasuk yang paling merasakan dampaknya. Perlambatan di Tiongkok akibat perang dagang dengan AS secara tidak langsung juga mengurangi permintaan terhadap bahan baku dan barang setengah jadi dari negara-negara tetangganya. Fenomena ini menggarisbawahi betapa saling terhubungnya perekonomian dunia saat ini.
Risiko Lanjutan yang Membayangi Perekonomian Global
ADB memperingatkan bahwa risiko penurunan masih sangat besar. Potensi pemberlakuan tarif tambahan oleh AS, terutama pada sektor-sektor strategis seperti semikonduktor dan farmasi, dapat memicu gelombang baru ketidakpastian. Selain itu, ketegangan geopolitik yang terus berlanjut di berbagai belahan dunia juga dapat mengganggu arus perdagangan dan investasi.
Pasar keuangan global tetap rentan terhadap gejolak. Setiap eskalasi dalam perang dagang dapat memicu aksi jual di pasar saham dan pelarian modal dari negara-negara berkembang. Bank sentral di seluruh dunia menghadapi dilema kebijakan yang sulit: di satu sisi harus menjaga stabilitas harga, namun di sisi lain perlu mendukung pertumbuhan ekonomi yang sedang melambat.
Koordinasi kebijakan di tingkat global menjadi semakin mendesak. Forum-forum internasional seperti G20 dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) diharapkan dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam meredakan ketegangan dan menegakkan kembali tatanan perdagangan berbasis aturan. Tanpa upaya bersama, risiko resesi global akan semakin meningkat.
Posisi Asia di Tengah Ketidakpastian
Meskipun menghadapi tantangan berat, kawasan Asia yang sedang berkembang tetap menjadi titik terang dalam perekonomian global. Dengan fundamental yang relatif kuat, populasi yang dinamis, dan kelas menengah yang terus tumbuh, Asia masih memiliki potensi pertumbuhan jangka panjang yang besar. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, negara-negara di kawasan ini perlu beradaptasi dengan lanskap global yang baru.
Peningkatan kerja sama regional, seperti melalui perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), dapat menjadi salah satu strategi untuk mengurangi dampak negatif dari proteksionisme. Selain itu, investasi dalam inovasi, teknologi digital, dan infrastruktur akan menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing dan menciptakan sumber-sumber pertumbuhan baru.
Pada akhirnya, kemampuan negara-negara Asia, termasuk India, untuk menavigasi era ketidakpastian ini akan sangat bergantung pada reformasi struktural di dalam negeri dan kemampuan mereka untuk bekerja sama dalam menghadapi tantangan bersama.
Secara keseluruhan, kebijakan tarif AS telah menjadi faktor determinan yang membentuk kembali lanskap ekonomi global. Revisi turun proyeksi pertumbuhan India oleh ADB adalah bukti nyata dari dampak negatif proteksionisme. Situasi ini menegaskan bahwa dalam dunia yang saling terhubung, tidak ada negara yang kebal dari gejolak perdagangan, dan solusi yang berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui dialog dan kerja sama internasional.
Untuk analisis mendalam lainnya seputar ekonomi global dan dinamika pasar, terus ikuti perkembangan berita terbaru hanya di Insimen.
Eksplorasi konten lain dari Insimen
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.