Skip to main content

Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat pada paruh pertama 2025. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hanya mencapai 4,9 persen pada kuartal pertama, turun dari 5,1 persen pada 2024, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Inflasi rendah di 2,3 persen justru menandakan permintaan domestik yang lemah. Harga barang pokok naik perlahan, sementara daya beli masyarakat terus tergerus. Tekanan global, seperti penurunan harga komoditas dan ketegangan perdagangan, memperparah situasi. Meski demikian, konsumsi rumah tangga tetap menjadi penopang utama ekonomi. Apa saja yang menyebabkan perlambatan ini, dan bagaimana prospek ke depannya?

Tekanan Global Memukul Ekspor Indonesia

Dunia sedang menghadapi perlambatan ekonomi global yang signifikan. Proyeksi pertumbuhan dunia hanya 2,3 persen pada 2025, menurut laporan terbaru World Bank. Ketegangan perdagangan, terutama tarif impor tinggi dari Amerika Serikat, membatasi akses pasar ekspor Indonesia. Hal ini memengaruhi komoditas andalan seperti nikel dan minyak kelapa sawit (CPO), yang harganya anjlok 12 persen sepanjang tahun.

Penurunan Harga Komoditas

Ekspor nikel dan CPO, dua penyumbang devisa utama, terpukul keras. Data Kementerian Perdagangan mencatat nilai ekspor nikel turun 15 persen dibandingkan 2024. “Penurunan harga komoditas global melemahkan pendapatan negara,” kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam konferensi pers di Jakarta, Mei 2025. Kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang diterapkan sejak 2020 memang mendorong hilirisasi, tetapi permintaan global yang lesu membatasi manfaatnya. Sementara itu, CPO menghadapi persaingan ketat dari minyak nabati lain di pasar internasional. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit sebesar 0,2 persen dari PDB pada kuartal pertama.

Ketegangan Perdagangan Dunia

Tarif impor AS yang melonjak sejak Januari 2025 menjadi pukulan telak. Produk tekstil dan alas kaki Indonesia, yang biasanya diekspor ke AS, terkena tarif hingga 25 persen. Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) melaporkan penurunan ekspor sepatu sebesar 18 persen. Ketegangan AS-Cina juga mengganggu rantai pasok global, membuat biaya logistik melonjak. Hal ini memengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar internasional. Bank Indonesia (BI) mencatat rupiah melemah hingga menyentuh level terendah dalam lima tahun, meskipun intervensi dilakukan untuk menstabilkan nilai tukar.

Daya Beli Masyarakat Melemah

Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang lebih dari 50 persen PDB Indonesia, hanya tumbuh 4,89 persen pada 2025, lebih rendah dari 5,2 persen pada 2024. Penurunan daya beli ini terasa di berbagai lapisan masyarakat. Kelas menengah, yang menjadi tulang punggung konsumsi, menyusut dari 57 juta pada 2019 menjadi 52 juta pada 2025, menurut laporan Bank Dunia.

PHK Massal di Sektor Manufaktur

Sektor manufaktur, khususnya tekstil dan alas kaki, mengalami guncangan besar. Lebih dari 15 ribu pekerja terkena PHK pada awal 2025, menurut Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Pabrik-pabrik di Bekasi dan Tangerang terpaksa tutup atau kurangi operasional karena pesanan ekspor menurun. “Kami kehilangan pasar di AS dan Eropa,” ujar seorang pengusaha tekstil di Bandung. Penurunan ini juga memengaruhi sektor informal, yang bergantung pada rantai pasok manufaktur. Banyak pedagang kecil melaporkan penurunan omset hingga 30 persen.

Inflasi dan Ketidakpastian Ekonomi

Meski inflasi rendah di 2,3 persen, ini mencerminkan permintaan yang lemah, bukan stabilitas ekonomi. Deflasi terjadi pada Januari (0,76 persen) dan Februari (0,48 persen), menunjukkan masyarakat lebih memilih menabung ketimbang berbelanja. Bahkan momen Ramadan dan Lebaran, yang biasanya mendorong konsumsi, tidak cukup kuat. BPS mencatat jumlah pemudik turun 24 persen, dan penjualan ritel lesu. “Konsumen sekarang lebih hati-hati karena ketidakpastian,” ungkap ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri. Ketidakpastian ini juga terlihat dari meningkatnya tabungan masyarakat di bank, yang naik 7 persen dibandingkan tahun lalu.

Tantangan Struktural Menghambat Pemulihan

Selain faktor eksternal dan domestik, masalah struktural dalam perekonomian Indonesia memperparah situasi. Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah dan sektor informal yang besar membuat ekonomi rentan terhadap guncangan. Selain itu, iklim investasi yang kurang kondusif menghambat masuknya modal asing.

Ketergantungan pada Komoditas Mentah

Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas mentah, meskipun upaya hilirisasi terus digalakkan. Nikel, batu bara, dan CPO menyumbang 40 persen pendapatan ekspor, tetapi fluktuasi harga global membuat pendapatan tidak stabil. “Kita perlu diversifikasi ekspor ke produk bernilai tambah,” kata Gita Wirjawan, mantan Menteri Perdagangan, dalam wawancara dengan Olam News. Namun, proses hilirisasi terhambat oleh infrastruktur yang belum memadai dan biaya produksi yang tinggi. Sementara itu, sektor pertanian dan perikanan, yang bisa menjadi alternatif, masih kekurangan investasi teknologi.

Iklim Investasi yang Berbelit

Investasi asing langsung (FDI) turun 10 persen pada 2025, menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Regulasi yang rumit dan birokrasi yang lambat menjadi keluhan utama investor. Di beberapa daerah, seperti Bekasi, gangguan dari jaringan kriminal menambah ketidakpastian. “Investor butuh kepastian hukum dan kemudahan perizinan,” ujar Ketua Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid. Pemerintah telah meluncurkan Omnibus Law untuk memperbaiki iklim investasi, tetapi implementasinya masih lambat. Akibatnya, proyek besar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) belum memberikan dampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi.

Prospek dan Solusi ke Depan

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 4,8-5,1 persen untuk 2025, dengan harapan dari program strategis seperti pembangunan 3 juta rumah. Program ini diproyeksi menciptakan 2,3 juta lapangan kerja dan menarik investasi swasta. Selain itu, kebijakan makan siang gratis untuk anak sekolah diharapkan meningkatkan nutrisi dan daya beli keluarga. Namun, tantangan global seperti perang tarif AS-Cina bisa menekan pertumbuhan di bawah 5 persen.

Bank Indonesia terus menjaga stabilitas rupiah dengan menurunkan suku bunga menjadi 5,5 persen pada Mei 2025. Langkah ini membantu mengendalikan inflasi impor, tetapi efeknya pada pertumbuhan masih terbatas. Pemerintah juga mendorong UMKM melalui kredit lunak dan pelatihan digital, mengingat sektor ini menyumbang 60 persen lapangan kerja. “UMKM adalah tulang punggung ekonomi kita,” kata Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki.

Meski tantangan berat, Indonesia memiliki peluang untuk bangkit. Diversifikasi ekspor, perbaikan iklim investasi, dan dukungan untuk UMKM menjadi kunci. Untuk pembaca yang ingin memahami lebih dalam, simak artikel terkait tentang strategi UMKM di tengah krisis di Insimen.


Eksplorasi konten lain dari Insimen

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Leave a Reply

Eksplorasi konten lain dari Insimen

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca