Perang Dagang kembali mengemuka ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif 100 persen terhadap seluruh impor dari Cina. Kebijakan ini muncul di tengah persiapan pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Washington, yang kini dibayangi oleh meningkatnya ketegangan geopolitik dan kekhawatiran ekonomi global.
Trump menyebut langkah tersebut sebagai “penegasan ulang kedaulatan ekonomi Amerika” dan menuduh Beijing melakukan praktik perdagangan tidak adil, terutama dalam sektor teknologi dan industri berat. Pernyataan ini memicu respons keras dari Beijing, yang mengancam akan membalas dengan langkah serupa terhadap produk Amerika.
Langkah Trump ini tidak hanya mengguncang pasar, tetapi juga mengubah arah pembahasan dalam forum ekonomi global yang seharusnya berfokus pada stabilitas dan pemulihan pascapandemi. Ketegangan baru ini mengingatkan dunia pada perang tarif yang dimulai pada masa jabatan pertamanya di 2018–2020, yang kala itu sempat mengguncang rantai pasok global.
Dampak Terhadap Pertemuan IMF dan World Bank
Pertemuan IMF dan World Bank yang berlangsung pekan ini di Washington awalnya dijadwalkan untuk membahas stabilitas makroekonomi, utang negara berkembang, dan percepatan pendanaan iklim. Namun, ancaman perang dagang AS–Cina kini menjadi topik utama di berbagai pertemuan bilateral dan sesi tertutup.
Para pejabat keuangan dunia menyampaikan keprihatinan bahwa kebijakan tarif baru dapat memperburuk inflasi global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, “Langkah proteksionis baru justru berisiko menambah tekanan pada negara berkembang yang tengah berjuang memulihkan diri.”
Sementara itu, perwakilan dari Uni Eropa menyerukan agar Amerika dan Cina menahan diri serta memulihkan jalur dialog ekonomi. Beberapa negara berkembang juga menilai bahwa konflik dua raksasa ekonomi dunia ini berpotensi menekan harga komoditas dan memperburuk neraca perdagangan mereka.
Cina dan Rencana Pembalasan
Pemerintah Cina melalui Kementerian Perdagangan menyatakan akan mengambil tindakan “proporsional dan diperlukan” jika tarif 100 persen benar-benar diterapkan. Langkah itu bisa mencakup pembatasan ekspor mineral langka (rare earth), pengenaan tarif tinggi terhadap impor pertanian AS, serta pengawasan ketat terhadap perusahaan Amerika yang beroperasi di Cina.
Kebijakan pembalasan ini berpotensi mengganggu rantai pasok global, terutama di sektor teknologi tinggi, kendaraan listrik, dan energi hijau. Perusahaan multinasional yang memiliki pabrik di Cina mulai menyiapkan strategi mitigasi dengan memindahkan sebagian produksi ke Asia Tenggara.
Pengaruh Amerika dalam Agenda IMF
Beberapa analis menilai, keputusan Trump bisa memperkuat pengaruh politik Amerika di IMF dan World Bank, karena AS adalah pemegang saham terbesar kedua di kedua lembaga tersebut. Dengan mengangkat isu “keamanan ekonomi nasional”, Washington diyakini akan mendorong pembentukan kebijakan yang lebih proteksionis terhadap Cina.
Namun, langkah ini juga bisa mengikis semangat multilateralisme yang selama ini menjadi dasar kerja IMF dan Bank Dunia. Para diplomat menilai bahwa jika rivalitas AS–Cina terus meningkat, lembaga keuangan internasional akan kesulitan menjaga netralitasnya dalam kebijakan global.
Ketegangan Teknologi dan Kontrol Ekspor
Selain tarif, isu yang turut memperkeruh situasi adalah rencana Washington memperluas kontrol ekspor terhadap teknologi sensitif. Pemerintah AS berencana membatasi pengiriman perangkat lunak dan peralatan chip canggih yang dapat digunakan dalam riset kecerdasan buatan serta pertahanan Cina.
Cina Batasi Ekspor Rare Earth
Sebagai tanggapan, Beijing dilaporkan memperluas daftar larangan ekspor bahan mineral langka, termasuk jenis logam penting untuk produksi semikonduktor dan baterai. Langkah ini dinilai sebagai strategi defensif sekaligus sinyal bahwa Cina memiliki kartu penting dalam perang dagang berbasis teknologi.
Keputusan tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri global. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman yang sangat bergantung pada bahan baku dari Cina kini meninjau ulang strategi pasokan mereka.
Teknologi Sebagai Senjata Diplomasi Ekonomi
AS menggunakan dominasi teknologinya untuk menekan Beijing di level diplomasi. Kebijakan kontrol ekspor membuat banyak perusahaan Cina kesulitan memperoleh komponen penting untuk pengembangan AI dan infrastruktur digital.
Namun, strategi ini juga berisiko bagi perusahaan Amerika sendiri yang bergantung pada pasar Cina. Industri chip seperti Nvidia dan Intel dikhawatirkan kehilangan pendapatan besar karena larangan ekspor tertentu. Beberapa investor menilai, kebijakan “decoupling” semacam ini justru merugikan ekonomi global jangka panjang.
Reaksi Pasar dan Gejolak Keuangan
Pasar keuangan global langsung bereaksi keras terhadap ancaman tarif baru tersebut. Di Cina, indeks saham CSI300 turun hampir 2 persen, sementara Hang Seng di Hong Kong anjlok lebih dari 3 persen.
Harga emas melonjak ke rekor tertinggi baru, menandakan meningkatnya permintaan terhadap aset aman. Investor global juga beralih ke obligasi pemerintah AS sebagai langkah lindung nilai.
Di sisi lain, dolar AS menguat terhadap sebagian besar mata uang utama, memperburuk tekanan pada negara berkembang yang memiliki utang luar negeri tinggi. IMF memperingatkan bahwa kombinasi antara tarif tinggi dan volatilitas mata uang dapat memicu arus modal keluar dari pasar negara berkembang.
Beberapa ekonom memperkirakan bahwa jika perang dagang benar-benar berlanjut, pertumbuhan ekonomi global tahun 2026 bisa turun 0,4 hingga 0,6 persen. Dampaknya bisa terasa luas di sektor manufaktur, perdagangan, hingga lapangan kerja.
Harapan Diplomasi Trump–Xi
Meski situasi memanas, sejumlah diplomat masih berharap adanya pertemuan bilateral antara Trump dan Presiden Xi Jinping. Pertemuan itu disebut-sebut akan digelar di Korea Selatan, di sela-sela forum APEC bulan depan.
Namun, jadwalnya masih belum pasti. Beberapa pengamat menilai ancaman tarif 100 persen hanyalah strategi negosiasi Trump untuk mendapatkan konsesi dagang baru dari Beijing. Meski demikian, Beijing menegaskan bahwa pihaknya tidak akan bernegosiasi “di bawah tekanan ancaman.”
Implikasi bagi Ekonomi Global
IMF dalam laporan terbarunya menyebut bahwa ekonomi dunia “masih lebih kuat dari perkiraan,” tetapi menghadapi risiko baru akibat tensi geopolitik dan kebijakan proteksionis. IMF juga memperingatkan bahwa perang tarif dapat memperlambat laju penurunan inflasi dan menekan daya beli masyarakat di seluruh dunia.
Negara berkembang yang bergantung pada ekspor ke Cina atau AS akan menjadi korban terbesar. Harga komoditas seperti nikel, tembaga, dan minyak sawit berpotensi fluktuatif karena permintaan industri melemah.
Selain itu, ketegangan ini juga menghambat agenda pendanaan pembangunan dan transisi energi yang sedang dibahas di forum Bank Dunia. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk mitigasi iklim bisa tergeser untuk menstabilkan pasar atau menutup kerugian perdagangan.
Meski pertemuan IMF dan World Bank dirancang untuk memperkuat kerja sama global, kebijakan tarif Trump telah menggeser fokus dunia ke arah rivalitas ekonomi. Perang Dagang kembali menjadi ancaman besar bagi stabilitas finansial internasional.
Para ekonom menilai, keputusan-keputusan yang diambil dalam beberapa minggu ke depan akan menentukan apakah dunia melangkah menuju kerja sama baru atau memasuki babak konfrontasi ekonomi yang lebih dalam.
Eksplorasi konten lain dari Insimen
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.