Bayangkan sebuah warung makan yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Pelanggannya setia, menunya digemari, bahkan omzetnya cukup stabil. Namun, pemiliknya masih memperlakukan kas perusahaan sebagai dompet pribadi: uang hasil penjualan langsung dipakai untuk kebutuhan keluarga, membiayai sekolah anak, membeli mobil baru, bahkan menutup cicilan rumah.
Sekilas terlihat wajar, toh pemilik merasa bahwa usaha itu “milik saya sendiri”. Tapi di balik layar, inilah salah satu jebakan klasik yang membuat banyak bisnis UMKM di Indonesia sulit naik kelas. Uang perusahaan bukanlah uang pribadi. Inilah garis batas yang sering kabur dalam praktik sehari-hari.
Ilusi Kepemilikan: “Kan Perusahaan Saya Sendiri?”
Banyak pelaku usaha merasa tidak salah menggunakan dana perusahaan untuk kebutuhan pribadi. Logikanya sederhana kalau saya yang mendirikan, menanggung risiko, dan mengelola, berarti uang hasil usaha sepenuhnya milik saya.
Masalahnya, cara pandang ini bisa berbahaya ketika usaha mulai berkembang. Begitu bisnis membutuhkan modal tambahan, baik dari bank maupun investor, keuangan yang tidak tertata akan menjadi batu sandungan terbesar.
Investor akan bertanya, bagaimana laporan keuangan 5 tahun terakhir, berapa margin keuntungan bersih, seberapa besar dana yang diinvestasikan kembali untuk ekspansi.
Jika jawabannya tidak jelas karena uang perusahaan bercampur dengan uang pribadi, kepercayaan pun hilang. Momentum pertumbuhan bisa lewat begitu saja.
Efek Domino dari “Dompet Pribadi” ke Stagnasi Bisnis
Ketika uang perusahaan dianggap dompet pribadi, dampaknya bukan hanya soal pencatatan keuangan, tapi juga terlihat dampak “tidak ada dana cadangan untuk darurat” begitu ada krisis misalnya pandemi atau kenaikan harga bahan baku perusahaan langsung goyah karena kas sudah habis untuk konsumsi pribadi.
Bisa pula mengakibatkan “sulit berkembang” karena modal kerja tersedot untuk hal-hal di luar bisnis. Akibatnya, ketika ada peluang membuka cabang baru atau membeli mesin lebih modern, dana tidak tersedia. Hal lain adalah mengurangi profesionalisme
karyawan melihat pemilik sering “mengambil” kas seenaknya, maka mereka juga bisa kehilangan disiplin dalam menjaga aset perusahaan. Kondisi seperti ini akan membawa dampak Perusahaan akan susah cari investor disaat membutuhkan penambahan modal kerja.
Calon mitra akan ragu menanamkan modal di perusahaan yang keuangannya tidak transparan.
Singkatnya, kebiasaan ini membuat bisnis hanya berputar di tempat. Bertahan boleh jadi bisa, tapi untuk tumbuh besar? Sulit.
Belajar dari Perusahaan yang Naik Kelas
Banyak brand besar yang dulunya UMKM bisa berkembang karena disiplin dalam memisahkan keuangan. Pemilik tetap bisa mengambil keuntungan, tetapi lewat mekanisme yang jelas seperti gaji, dividen, atau profit sharing sesuai porsi saham.
Contohnya, sebuah usaha kedai kopi lokal yang lahir dari garasi rumah di Yogyakarta. Awalnya pemilik tergoda memakai omzet harian untuk kebutuhan pribadi, tapi setelah belajar manajemen keuangan, ia menetapkan system gaji tetap bulanan untuk pemilik walaupun kecil di awal, sisanya disimpan sebagai kas usaha, laba bersih dihitung setiap 6 bulan, baru kemudian dibagi sebagai dividen.
Hasilnya, dalam 7 tahun kedai kopi itu bisa berekspansi menjadi jaringan café modern di beberapa kota besar. Semua itu terjadi karena pemilik sadar kalau uang perusahaan aman, masa depan usaha juga aman.
Mindset Baru bahwa Perusahaan Adalah Entitas Terpisah
Hal pertama yang harus dipahami oleh entrepreneur muda adalah perusahaan punya identitas dan rekening hidupnya sendiri. Sama seperti seorang manusia, perusahaan butuh Uang saku untuk modal kerja harian, Tabungan untuk cadangan darurat, Investasi untuk pembelian alat, renovasi, ekspansi, dan tentu saja penghasilan untuk membayar tenaga kerjanya, termasuk pemilik.
Begitu mindset ini terbentuk, pengusaha akan lebih bijak menata arus kas. Uang pribadi bisa bertambah, tapi lewat mekanisme resmi bukan dengan “mencomot” dari kas usaha setiap saat.
Tips Praktis untuk UMKM dan Entrepreneur Muda
Agar lebih terukur, berikut beberapa langkah sederhana:
- Pisahkan Rekening Bank
Jangan pernah campur uang usaha dengan tabungan pribadi. - Tetapkan Gaji untuk Pemilik
Ambil penghasilan rutin dari perusahaan seperti karyawan lain, besarannya bisa disesuaikan dengan kondisi bisnis. - Buat Laporan Keuangan Sederhana
Catat pemasukan dan pengeluaran setiap hari, tidak perlu rumit, bisa mulai dari buku kas atau gunakan aplikasi gratis.
- Alokasikan Laba untuk Tiga Hal yaituInvestasi kembali berupa ekspansi perluasan lahan, alat, renovasi, Dana cadangan, dan Dividen pemegang saham.
- Gunakan Jasa Akuntan/ Konsultan Keuangan
Jika sudah berkembang, jangan ragu memakai profesional agar laporan keuangan rapi dan terpercaya, sangat penting ketika usaha anda akan naik kelas.
Momentum Tidak Datang Dua Kali
Banyak usaha kecil yang sebenarnya punya peluang menjadi besar, tapi gagal hanya karena satu hal sederhana uang perusahaan diperlakukan seperti dompet pribadi.
Ingat, momentum pertumbuhan tidak datang dua kali. Ketika peluang muncul entah berupa investor, pasar baru, atau tren yang mendukung perusahaan harus siap dengan fondasi keuangan yang sehat.
Jadi, sebelum bisnis Anda kehilangan kesempatan emas, tanyakan pada diri sendiri, apakah saya sudah memperlakukan uang perusahaan dengan benar?
Eksplorasi konten lain dari Insimen
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.