Kecerdasan buatan atau AI resmi masuk ke dalam agenda utama PBB dalam pertemuan tingkat tinggi yang berlangsung pekan ini di New York. Untuk pertama kalinya, Majelis Umum menyetujui pembentukan dua mekanisme khusus yang dirancang untuk mengarahkan tata kelola AI secara global. Keputusan ini menandai babak baru dalam upaya dunia mengendalikan sekaligus memanfaatkan teknologi yang berkembang sangat cepat. PBB menekankan bahwa AI bukan sekadar isu teknologi, melainkan tantangan lintas sektor yang menyangkut keamanan, ekonomi, iklim, dan hak asasi manusia.
Langkah konkret pertama yang disahkan adalah peluncuran Global Dialogue on AI Governance. Forum ini akan menjadi wadah bagi negara anggota, industri, akademisi, serta masyarakat sipil untuk membahas standar keselamatan, transparansi, dan etika penggunaan AI. Pertemuan resmi pertama dijadwalkan berlangsung di Jenewa pada 2026, kemudian dilanjutkan di New York pada 2027. Dengan forum ini, PBB berharap dapat mengonsolidasikan berbagai inisiatif regional dan nasional yang selama ini berjalan sendiri-sendiri. Dialog global ini dipandang penting untuk mencegah fragmentasi kebijakan yang dapat merugikan kerja sama internasional.
Mekanisme kedua adalah pembentukan Scientific Panel on AI yang terdiri dari 40 pakar independen dari berbagai bidang. Panel ini akan bekerja mirip dengan dewan penasehat ilmiah di bidang iklim, meski dengan mandat yang lebih fleksibel. Dua ketua bersama akan memimpin, masing-masing mewakili negara maju dan negara berkembang. Panel ini diharapkan menghasilkan laporan berbasis bukti tentang risiko dan peluang AI, mulai dari potensi disinformasi, bio-risiko, hingga penggunaan energi oleh pusat data. Laporan mereka akan menjadi rujukan penting bagi para pembuat kebijakan di seluruh dunia.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menegaskan bahwa dunia tidak bisa menunggu hingga dampak buruk AI benar-benar muncul. Ia menyebut teknologi ini sebagai salah satu tantangan global yang harus ditangani bersama, setara dengan krisis iklim dan konflik internasional. Pernyataan ini memperkuat pandangan bahwa tata kelola AI harus bersifat inklusif, dengan melibatkan suara negara-negara berkembang yang selama ini sering tertinggal dalam diskusi teknologi tingkat tinggi.
Dewan Keamanan PBB juga ikut memberikan perhatian khusus pada isu ini dengan mengadakan debat terbuka mengenai peran AI dalam perdamaian dan keamanan internasional. Diskusi mencakup penggunaan AI dalam operasi militer, potensi penyalahgunaan untuk propaganda, serta kebutuhan memastikan teknologi ini tetap sejalan dengan hukum internasional. Beberapa delegasi menyoroti risiko konsentrasi kekuasaan pada segelintir perusahaan besar yang menguasai teknologi AI tingkat lanjut.
Namun, keputusan PBB ini tidak luput dari kritik. Sejumlah analis menilai mekanisme baru tersebut masih terlalu lemah dibandingkan dengan model Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Tanpa kewenangan mengikat, efektivitas forum dan panel akan sangat bergantung pada kemauan negara dan industri untuk mengikuti rekomendasi yang dihasilkan. Ada pula kekhawatiran mengenai kecepatan birokrasi PBB yang mungkin sulit mengejar laju perkembangan AI yang dinamis. Isu representasi juga mencuat, khususnya tentang sejauh mana masyarakat sipil dan negara-negara Global South mendapat ruang dalam struktur baru ini.
Meski demikian, beberapa pihak melihat peluang besar dari inisiatif ini. Kepala urusan iklim PBB, Simon Stiell, menegaskan bahwa AI dapat memainkan peran penting dalam mengoptimalkan sistem energi dan diplomasi iklim. Menurutnya, meski membawa risiko, teknologi ini juga mampu mempercepat inovasi dalam mitigasi krisis iklim jika diarahkan dengan benar. Dorongan agar pengembangan AI berfokus pada efisiensi energi dan penggunaan sumber daya terbarukan pun semakin menguat.
Bagi pemerintah, kehadiran Global Dialogue berarti perlunya menyiapkan posisi nasional yang jelas untuk berpartisipasi dalam pertemuan 2026 di Jenewa. Mereka harus mengidentifikasi prioritas, seperti standar keamanan model, perlindungan data lintas batas, dan dampak tenaga kerja. Sementara itu, perusahaan teknologi perlu mengantisipasi ekspektasi baru terkait transparansi algoritma, audit independen, dan pelaporan risiko. Rekomendasi PBB, meski tidak mengikat, berpotensi diadopsi banyak yurisdiksi sebagai acuan hukum lunak yang memengaruhi regulasi domestik.
Industri non-teknologi yang memanfaatkan AI juga terdorong untuk memperkuat tata kelola internal. Inventarisasi penggunaan model, penilaian dampak, hingga pengawasan manusia atas sistem otomatis akan semakin dibutuhkan. Praktik ini bukan hanya soal kepatuhan, melainkan juga menjaga reputasi bisnis di tengah meningkatnya kesadaran publik tentang risiko AI.
Secara keseluruhan, langkah PBB menempatkan AI sebagai agenda utama mencerminkan kesadaran global bahwa teknologi ini sudah berada pada titik krusial. Dunia dihadapkan pada pilihan antara memanfaatkan AI untuk kebaikan bersama atau membiarkannya berkembang tanpa arah yang jelas. Dengan dua mekanisme baru ini, PBB berusaha menghadirkan platform kolektif yang dapat menyeimbangkan inovasi dengan tanggung jawab.
Perjalanan menuju tata kelola AI yang benar-benar efektif masih panjang. Namun, keputusan pekan ini menandai titik balik penting yang dapat menjadi fondasi bagi arsitektur global di masa depan. Pertanyaan besarnya adalah sejauh mana negara, industri, dan masyarakat sipil bersedia menjadikan rekomendasi PBB sebagai acuan nyata. Jika kesepakatan global dapat tercapai, maka AI bisa diarahkan untuk memperkuat pembangunan berkelanjutan, menjaga perdamaian, dan mendukung hak asasi manusia.
Untuk membaca lebih banyak berita teknologi internasional terbaru, kunjungi Insimen dan temukan artikel terkait perkembangan kebijakan global yang memengaruhi dunia digital saat ini.
Eksplorasi konten lain dari Insimen
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.