DPR kembali memusatkan perhatian pada revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Komisi III menilai aturan lama tidak lagi relevan. Legislator menegaskan bahwa sistem pembuktian perlu diperbarui agar lebih adil dan mampu melindungi hak asasi setiap pihak. Kritik itu mengemuka dalam rapat di Senayan pada Senin pagi.
Anggota dewan menyebut pasal pembuktian sering menimbulkan masalah nyata. Rumusan dua alat bukti ditambah keyakinan hakim, menurut mereka, memberi ruang terlalu besar bagi subjektivitas. Akibatnya, putusan sering menimbulkan ketidakpastian. Lebih dari itu, sistem lama bisa membuka jalan munculnya praduga bersalah sejak awal.
Komnas HAM juga menyampaikan sembilan masukan resmi terhadap draf baru. Lembaga ini menegaskan perlunya pengawasan ketat terhadap aparat, perlindungan bagi pelapor, serta larangan mutlak penggunaan bukti yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dengan demikian, revisi KUHAP diharapkan mampu mencegah praktik penyiksaan dan pelanggaran hak tersangka.
Dorongan Perubahan Sistem Pembuktian
RUU KUHAP terbaru membawa perubahan mendasar. Standar minimal dua alat bukti kini ditempatkan pada tahap awal proses hukum. Penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan hanya dapat dilakukan jika aparat memiliki bukti sah. Dengan aturan ini, aparat tidak bisa lagi bertindak sewenang-wenang.
Jenis alat bukti juga diperluas. Selain keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan pengakuan terdakwa, bukti elektronik kini mendapat pengakuan resmi. Di sisi lain, aturan baru menolak bukti ilegal. Dengan begitu, hakim tidak lagi bisa mempertimbangkan bukti yang diperoleh melalui cara melawan hukum.
Prinsip unus testis nullus testis tetap berlaku. Satu saksi saja tidak cukup tanpa dukungan bukti lain. Bahkan, pengakuan terdakwa tidak bisa dijadikan dasar putusan jika tidak diperkuat bukti sah. Oleh karena itu, revisi ini diyakini dapat mempersempit ruang praktik pemaksaan pengakuan.
Dampak Perubahan bagi Penegakan Hukum
RUU KUHAP baru membawa dampak nyata bagi semua pihak. Penyidik harus bekerja lebih cermat karena setiap tindakan paksa wajib dilengkapi bukti yang kuat. Jaksa juga harus menyiapkan berkas perkara lebih matang agar bisa lolos ke pengadilan.
Hakim memperoleh kerangka penilaian yang lebih terukur. Mereka wajib memeriksa autentikasi bukti dan menolak bukti ilegal. Dengan begitu, ruang subjektivitas berkurang, konsistensi putusan meningkat, dan disparitas pemidanaan dapat ditekan.
Masyarakat juga merasakan manfaat langsung. Pos bantuan hukum di desa dan kelurahan memberi akses yang lebih merata. Terlebih lagi, perlindungan sejak tahap awal menjadikan warga lebih percaya pada proses hukum.
Pakar hukum menilai langkah ini krusial. Mahkamah Agung sebelumnya mengingatkan soal disparitas putusan dalam kasus serupa. Karena itu, perubahan sistem pembuktian akan mendorong keseragaman dan rasa adil di mata publik.
Komisi III menegaskan pembahasan masih terbuka. Kementerian Hukum dan HAM bersama DPR terus menyelaraskan inventarisasi masalah. Sementara itu, beberapa usulan tambahan seperti aturan sidang elektronik dan penerapan keadilan restoratif mulai dibahas lebih rinci.
Revisi KUHAP menjadi momentum penting untuk memperbaiki wajah hukum acara pidana Indonesia. Legislator, Komnas HAM, dan pakar hukum sepakat bahwa pembuktian harus lebih adil, bukti elektronik perlu diatur tegas, dan perlindungan hak tersangka harus diperkuat.
Proses politik masih berlangsung. Namun, arah pembahasan memberi harapan nyata bagi masyarakat. Sebagai hasilnya, publik bisa menunggu perubahan besar yang akan membentuk sistem hukum acara pidana lebih modern. Untuk mengikuti perkembangan selanjutnya, Anda dapat membaca artikel terkait di kanal Hukum Insimen serta merujuk pada dokumen resmi DPR.
Eksplorasi konten lain dari Insimen
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.