Kita sering terlalu cepat menghakimi anak yang nilai rapornya merah sebagai sosok pemalas atau kurang cerdas. Padahal di balik stigma tersebut tersembunyi ancaman learning poverty yang jauh lebih sistemik dan berbahaya daripada sekadar keengganan membuka buku. Masalah ini sering kali bukan soal metode pengajaran guru yang membosankan melainkan defisit fungsi neurokognitif yang luput dari pantauan orang tua maupun pendidik.

Absennya teknologi pemetaan otak atau brain mapping membuat kesulitan belajar menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Kesulitan ini berakar pada gangguan atensi, memori kerja yang lemah, atau lambatnya pemrosesan informasi di kepala sang anak. Fakta di lapangan menunjukkan betapa gawatnya situasi pendidikan kita saat ini. Indonesia terperosok di peringkat 69 dari 81 negara dalam survei PISA 2022. Angka ini adalah bukti telanjang bahwa strategi belajar konvensional yang diterapkan selama ini gagal menyentuh akar permasalahan biologis siswa.

Advertisements

Situasi ini menciptakan efek domino yang mengerikan bagi kualitas sumber daya manusia masa depan. Data UNESCO mencatat sebanyak 35 persen anak usia sekolah mengalami ketidakmampuan membaca dan memahami teks sederhana bahkan saat mereka sudah menginjak usia 10 tahun. Keterlambatan diagnosis mengubah defisit biologis ini menjadi vonis seumur hidup yang mematikan potensi karir dan masa depan mereka. Anak-anak ini tidak butuh ceramah motivasi tambahan melainkan intervensi medis dan strategis yang tepat sasaran.

Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan karakter anak atas kegagalan sistem dalam mendeteksi masalah kesehatan otak mereka sejak dini. Analisis lebih mendalam mengenai fenomena ini bisa ditemukan di Insimen untuk perspektif yang lebih tajam.


Eksplorasi konten lain dari Insimen

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Leave a Reply

Eksplorasi konten lain dari Insimen

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca