Biaya pelabuhan menjadi titik damai baru dalam hubungan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping akhirnya mencapai kesepakatan yang menandai jeda penting dalam ketegangan dagang kedua negara. Kesepakatan tersebut menetapkan penangguhan selama satu tahun atas kebijakan biaya pelabuhan AS terhadap kapal-kapal yang terkait dengan Tiongkok.
Langkah ini diumumkan oleh Office of the United States Trade Representative (USTR) pada 6 November 2025, beberapa hari setelah pertemuan bilateral antara Trump dan Xi di sela-sela KTT APEC di Busan, Korea Selatan.
Latar Belakang: Dari Investigasi hingga Diplomasi Dagang
Hubungan dagang AS–Tiongkok kembali memanas sejak awal 2024, ketika USTR meluncurkan investigasi di bawah Section 301 of the Trade Act of 1974 terhadap praktik industri galangan kapal Tiongkok. Washington menuduh Beijing memberi subsidi besar-besaran pada sektor logistik lautnya sehingga menciptakan keunggulan kompetitif tidak adil di pasar global.
Menurut laporan, pada 2023 Tiongkok memproduksi lebih dari 50 persen total tonase kapal dunia — melonjak drastis dari sekitar 5 persen pada 1999. Dominasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri dan serikat pekerja AS. Pemerintah Trump pun menyiapkan kebijakan balasan berupa port fees terhadap kapal milik atau buatan Tiongkok yang berlabuh di pelabuhan AS.
Namun, kebijakan itu memicu protes dari industri pelayaran global yang memperingatkan potensi gangguan rantai pasok dan lonjakan harga kontainer. Tekanan politik dan ekonomi yang meningkat mendorong Gedung Putih untuk menempuh jalur negosiasi.
Kesepakatan di Busan: Satu Tahun Jeda Biaya Pelabuhan
Pertemuan antara Trump dan Xi di Busan menjadi titik balik. Dalam dialog tertutup di sela forum APEC 2025, keduanya sepakat untuk menangguhkan semua kebijakan port fees yang sebelumnya direncanakan mulai 14 Oktober 2025. Dengan kesepakatan baru ini, penangguhan berlaku mulai 10 November 2025 hingga 10 November 2026.
Sebagai imbalan, Tiongkok juga akan menangguhkan langkah-tanggapan (counter-measures) terhadap kapal berbendera atau terafiliasi AS yang sebelumnya sempat diberlakukan. Artinya, kedua negara akan membekukan eskalasi kebijakan maritim selama satu tahun penuh untuk memberi ruang negosiasi lebih luas.
Meski tidak menghapus kebijakan secara permanen, penangguhan ini dianggap sebagai “confidence-building measure” atau langkah membangun kepercayaan di tengah hubungan bilateral yang kerap tegang.
Rincian Teknis: Kebijakan yang Ditangguhkan
Sebelum dicabut, rancangan kebijakan port fees AS mencakup biaya yang cukup besar. Kapal yang dimiliki, dioperasikan, atau dibangun oleh entitas Tiongkok dikenai tarif antara USD 18–50 per tonase bersih, tergantung ukuran dan jenis kapal. Beberapa versi awal bahkan mengusulkan biaya tetap hingga USD 1–1,5 juta per kunjungan pelabuhan.
Kebijakan ini didesain sebagai bagian dari strategi Washington untuk menekan ekspansi maritim Tiongkok dan memacu kebangkitan industri galangan kapal domestik. Namun, dengan jeda satu tahun, implementasinya kini bergantung pada hasil perundingan lanjutan antara kedua negara.
Implikasi Global: Antara Stabilitas dan Ketidakpastian
Para analis menilai, penangguhan biaya pelabuhan ini memberi jeda penting bagi rantai pasok global. Industri pelayaran internasional, yang sebelumnya khawatir akan peningkatan biaya kontainer lintas Pasifik, kini mendapat napas lega.
Namun, sejumlah hal masih belum jelas. Pertama, apa target konkret dari negosiasi satu tahun ini? Kedua, apakah Tiongkok bersedia membuka sektor galangan kapalnya untuk kompetisi lebih adil? Dan ketiga, seberapa besar komitmen AS dalam menghidupkan kembali industrinya tanpa mengorbankan hubungan dagang?
Beberapa kalangan menilai kesepakatan ini lebih bersifat taktis ketimbang strategis. “Jeda satu tahun hanyalah pendingin suhu, bukan solusi permanen,” ujar salah satu analis perdagangan internasional di Washington.
Sementara itu, sektor pelayaran di Asia memantau perkembangan ini dengan cermat. Banyak perusahaan logistik mempertimbangkan penyesuaian rute dan kapasitas, terutama bila sebagian kapal Tiongkok mengalihkan jalur untuk menghindari ketidakpastian di pasar AS.
Dampak ke Asia Tenggara: Peluang bagi Indonesia
Bagi Indonesia dan kawasan ASEAN, jeda kebijakan biaya pelabuhan ini berpotensi membuka peluang baru. Bila kapal-kapal Tiongkok memilih mengalihkan sebagian operasinya dari pelabuhan AS, rute perdagangan Asia bisa mengalami penyesuaian signifikan.
Pelabuhan besar seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Patimban dapat mengambil peran lebih besar sebagai alternatif transshipment hub di jalur Asia–Pasifik. Selain itu, operator logistik Indonesia bisa memperoleh keuntungan dari peningkatan lalu lintas kontainer sementara.
Selain potensi positif, ada pula risiko: perubahan rute dan pola tarif bisa menimbulkan ketidakpastian jangka pendek dalam biaya pengiriman internasional. Pemerintah Indonesia disarankan memperkuat koordinasi dengan pelaku logistik nasional agar dapat menyesuaikan strategi di tengah dinamika ini.
Politik dan Pesan Diplomasi
Kesepakatan Trump–Xi di Busan menunjukkan bahwa, meskipun keras di retorika, kedua pemimpin menyadari perlunya stabilitas ekonomi menjelang tahun pemilu di AS dan periode penting transisi ekonomi di Tiongkok.
Trump ingin menunjukkan keberhasilan diplomasi dagang tanpa terlihat mengalah. Xi, di sisi lain, ingin menampilkan Tiongkok sebagai mitra yang mampu menegosiasikan solusi pragmatis tanpa menyerah pada tekanan Barat.
Keduanya memperoleh keuntungan politik: Trump bisa menegaskan posisinya sebagai negosiator ulung, sementara Xi menunjukkan kemampuan menjaga stabilitas hubungan internasional di tengah tekanan global.
Menuju Negosiasi Baru
Meski berlabel “penangguhan”, kesepakatan ini membuka ruang dialog intensif antara kedua negara untuk membahas isu yang lebih dalam mulai dari subsidi industri, rantai pasok logistik, hingga keamanan jalur laut.
AS dan Tiongkok dikabarkan akan membentuk joint working group yang bertugas merumuskan mekanisme kerja sama maritim dalam waktu dekat. Kelompok ini akan mengkaji ulang kebijakan port fees dan mencari format baru yang tidak mengganggu arus perdagangan global.
Bila negosiasi ini berhasil, maka untuk pertama kalinya dalam satu dekade, kedua ekonomi terbesar dunia mungkin menemukan titik temu yang lebih stabil di sektor maritim.
Kesepakatan penangguhan biaya pelabuhan ini bukan akhir dari perang dagang, tetapi jeda strategis yang dapat menentukan arah hubungan ekonomi global. Dunia kini menunggu apakah setahun ke depan cukup bagi Washington dan Beijing untuk beralih dari konfrontasi menuju kolaborasi?
Untuk pembaruan terkait kebijakan maritim dan dampaknya bagi Asia Tenggara, ikuti berita terkini hanya di portal Insimen.









