Skip to main content

Apartheid Afrika menjadi simbol kelam sejarah manusia. Meski sistem ini resmi berakhir lebih dari tiga dekade lalu, dampaknya masih terasa di kehidupan sehari-hari masyarakat Afrika Selatan. “Mengapa Penduduk Afrika Selatan Masih Hidup Terpisah?”, kita akan menelusuri jejak nyata segregasi rasial yang belum sepenuhnya lenyap dari negeri itu.

Cape Town, kota dengan panorama menakjubkan di ujung selatan Afrika, memperlihatkan kontras mencolok antara wilayah elit kulit putih dan kawasan miskin kulit hitam. Di sinilah Hattab memulai perjalanannya, membuka gerbang masa lalu yang belum tertutup rapat.

Warisan Sistem Pemisahan Ras

Apartheid Afrika bukan sekadar istilah sejarah. Kata ini berasal dari bahasa Afrikaans yang berarti “pemisahan” atau “isolasi”. Pada masa berkuasanya rezim apartheid, semua aspek kehidupan warga diatur berdasarkan warna kulit: siapa yang boleh menikah, di mana bisa tinggal, bahkan toilet dan sekolah dipisah berdasarkan ras.

Jejak Fisik yang Masih Nyata

Hattab memperlihatkan dua gerbang berbeda satu untuk kulit putih dan satu untuk non-Whites. Konsep pemisahan itu dulu diwujudkan secara ekstrem: masyarakat kulit hitam dipaksa tinggal di wilayah pinggiran tanpa fasilitas layak. Ironisnya, banyak dari mereka hingga kini masih terjebak di lingkungan yang sama. Infrastruktur buruk, akses pendidikan minim, dan jarak dari pusat ekonomi menjadi realita sehari-hari.

Akar dari Penjajahan dan Emas

Artikel ini juga menelusuri akar sistem apartheid dari masa penjajahan Belanda dan Inggris. Sejak ditemukan emas pada 1886, Johannesburg menjelma menjadi kota industri yang dibangun di atas tenaga kerja murah dari warga kulit hitam. Struktur sosial dan ekonomi kemudian dirancang untuk memastikan dominasi kulit putih tetap terjaga.

Apartheid Afrika

Mandela dan Akhir Era Gelap

Nelson Mandela menjadi figur sentral dalam perlawanan terhadap apartheid Afrika. Ia dipenjara selama 27 tahun karena memperjuangkan kesetaraan. Joe Hattab mengunjungi sel penjara Mandela di Pulau Robben, rumah lamanya, hingga lokasi bersejarah di Soweto tempat bocah Hector Pieterson ditembak aparat pada 1976 peristiwa yang mengguncang dunia.

Perlawanan Global dan Runtuhnya Rezim

Sistem apartheid akhirnya tumbang pada 1994 bukan karena kesadaran moral pemerintahnya, melainkan akibat tekanan internasional dan keruntuhan ekonomi. Boikot, embargo, serta perjuangan rakyat Afrika Selatan dari berbagai etnis memaksa rezim rasial itu menyerah. Mandela kemudian menjadi presiden pertama dari kalangan kulit hitam simbol kemenangan kemanusiaan atas penindasan.

Mengapa Afrika Selatan Masih Terpisah?

Meski apartheid berakhir secara hukum, realitas di lapangan jauh dari kata setara. Peneliti urban, Nick Budlender, menjelaskan bahwa warisan kebijakan apartheid masih membentuk pola kota modern. Wilayah pemukiman, akses pendidikan, dan peluang kerja tetap terpolarisasi berdasarkan ras.

Ketimpangan Struktural yang Mengakar

Di Cape Town, warga kulit putih masih menempati kawasan elite dekat pantai, sedangkan mayoritas kulit hitam tinggal di township dengan tingkat pengangguran tinggi. Sistem ekonomi dan kepemilikan tanah tetap condong kepada kelompok minoritas kulit putih. Hal ini membuat mobilitas sosial hampir mustahil bagi sebagian besar warga miskin.

Kesenjangan yang Tak Terlihat

Bentuk apartheid baru kini muncul dalam dimensi ekonomi. Pemisahan tidak lagi secara hukum, tetapi melalui perbedaan kualitas pendidikan, kesehatan, dan peluang bisnis. Banyak generasi muda kulit hitam masih terjebak dalam lingkar kemiskinan yang diwariskan dari masa lalu.

Afrika dan Palestina: Dua Luka yang Sama

Salah satu bagian paling emosional adalah ketika ia menghubungkan pengalaman apartheid Afrika dengan kondisi Palestina saat ini. Afrika Selatan menjadi salah satu negara paling vokal mendukung perjuangan rakyat Palestina, karena melihat kemiripan antara penindasan rasial masa lalu mereka dan kebijakan pemisahan di wilayah pendudukan.

Solidaritas Sejarah yang Hidup

Hattab memperlihatkan mural “Free Palestine” di Bo-Kaap, Cape Town, lingkungan Muslim bersejarah. Ia juga menampilkan pernyataan kuat dari tokoh-tokoh Afrika Selatan:

“Kemerdekaan kami belum lengkap tanpa kemerdekaan Palestina.”

Bagi banyak aktivis, bentuk kontrol dan pemisahan di Palestina bahkan disebut lebih ekstrem dibanding apartheid Afrika Selatan. Joe menggambarkan kesamaan keduanya melalui tembok pemisah, pos pemeriksaan, dan pembatasan mobilitas yang mengekang kehidupan warga sipil.

Menyelami Arsip Luka Apartheid

Untuk memperkuat narasinya, Hattab menelusuri museum dan penjara peninggalan era apartheid. Di penjara Johannesburg, ia menunjukkan betapa sistemik diskriminasi dijalankan makanan, hak tahanan, hingga ukuran sel dipisahkan berdasarkan warna kulit.

Bukti Sejarah yang Mengguncang

Ia memperlihatkan kartu identitas rasial (White, Black, Coloured, Indian) dan izin tinggal yang dulu menentukan nasib seseorang. Bahkan, ada “tes pensil” metode absurd untuk menentukan kategori ras seseorang. Semua bukti ini menunjukkan bahwa apartheid bukan sekadar kebijakan politik, melainkan ideologi supremasi yang dipaksakan dengan kekerasan.

Apartheid Afrika Selatan: Jejak 30 Tahun yang Belum Usai

Cape Town: Kota Indah di Atas Luka Lama

Cape Town tampak memukau dengan gunung Table yang megah dan pantai biru. Namun di balik keindahan itu tersimpan kontradiksi. Bo-Kaap, kawasan penuh warna dengan rumah-rumah pastel, dulunya merupakan tempat pemukiman paksa bagi Muslim keturunan budak Asia.

Seni Sebagai Perlawanan

Kini, seni mural dan warna-warna cerah menjadi simbol kebebasan warga Bo-Kaap. Mereka mengubah luka menjadi identitas budaya yang kuat. Menyoroti bagaimana masyarakat menggunakan seni untuk menyembuhkan trauma kolektif sekaligus menyuarakan solidaritas global terhadap Palestina.

Apartheid Afrika

Suara Aktivis: Harapan Baru untuk Dunia

Seorang aktivis anti-apartheid yang sejak muda diajarkan bahwa keistimewaan rasial adalah kebohongan. Aktivis itu menegaskan, perjuangan belum berakhir, kini giliran generasi baru melawan ketidakadilan di mana pun berada.

“Sekarang Afrika Selatan bebas. Kami menantikan hari itu bagi Palestina.”

Kata-kata itu pesan kemanusiaan yang universal: kebebasan sejati tak bisa selektif, dan keadilan tak mengenal warna kulit maupun batas negara.

Pelajaran dari Sejarah: Apartheid Tak Pernah Benar-Benar Usai

Bahwa apartheid bukan sekadar babak gelap sejarah Afrika, melainkan peringatan bagi dunia. Sistem yang menormalisasi diskriminasi dapat bertransformasi dalam bentuk baru lebih halus, tetapi sama berbahayanya.

Meskipun Afrika Selatan kini memiliki konstitusi demokratis yang kuat, warisan ketimpangan masih menghantui generasi muda. Pendidikan dan kesempatan kerja yang tidak merata membuat banyak keluarga kulit hitam sulit keluar dari kemiskinan struktural.

Selain itu, kapital dan properti tetap terkonsentrasi pada kelompok kecil yang mewarisi kekayaan era kolonial. Inilah alasan mengapa 30 tahun setelah apartheid berakhir, garis pemisah masih tampak jelas di antara komunitas.

Warisan yang Masih Hidup

Apartheid Afrika mungkin telah berakhir secara hukum, tetapi realitas sosialnya masih terasa di jalanan Johannesburg dan pinggiran Cape Town. Warisan ketidakadilan itu kini menjadi pengingat global tentang bahaya sistem yang memecah manusia berdasarkan warna kulit.

Dari perjuangan Nelson Mandela hingga seruan solidaritas untuk Palestina, pesan utama jelas: kemanusiaan tidak bisa dipisahkan. Selama masih ada ketimpangan dan diskriminasi, perjuangan belum selesai.


Eksplorasi konten lain dari Insimen

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Leave a Reply

Eksplorasi konten lain dari Insimen

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca